Selasa, 03 Oktober 2023

Filsafat Stoik: Menemukan Ketenangan dalam Ketidakpastian

Filsafat Stoik adalah salah satu aliran filsafat kuno yang telah bertahan selama berabad-abad dan tetap relevan dalam konteks dunia yang terus berubah. Filosofi ini menekankan etika pribadi, logika, dan pemahaman tentang alam semesta. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi asal-usul dan prinsip-prinsip utama dari filsafat Stoik, serta cara menerapkan konsep-konsep ini dalam kehidupan sehari-hari.

Photo by Rizki Yulian on Unsplash

Asal-usul Filsafat Stoik


Filsafat Stoik berasal dari Athena, Yunani pada awal abad ke-3 SM, dan mendapatkan namanya dari Stoa, tempat tempat para pemikir Stoik pertama kali berkumpul untuk berdiskusi. Diantara para filsuf Stoik yang paling terkenal adalah Zeno dari Citium, Cleanthes, Chrysippus, dan Epictetus.


Salah satu karakteristik yang menonjol dari filsafat Stoik adalah penekanannya pada kendali penuh atas tindakan dan pemikiran individu. Mereka mengajarkan bahwa sumber semua penderitaan adalah ketidakmampuan kita untuk membedakan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan (pikiran, tindakan) dan hal-hal yang tidak (cuaca, tindakan orang lain).


Prinsip-Prinsip Utama Filsafat Stoik


1. Logos


Logos adalah konsep sentral dalam filsafat Stoik. Ini mengacu pada hukum alam semesta atau akal universal yang mengatur segala sesuatu. Menurut Stoik, manusia harus hidup sesuai dengan Logos, yang berarti hidup sesuai dengan alam dan melakukan apa yang benar dan rasional.


2. Ataraxia


Ataraxia adalah kedamaian batin atau ketenangan pikiran yang dicapai melalui penerimaan atas hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan dan pengendalian atas tindakan dan pikiran kita sendiri. Ataraxia adalah tujuan penting dalam Stoisisme, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga ketenangan dalam menghadapi kehidupan yang penuh ketidakpastian.


3. Indiferen Stoik


Stoik mengklasifikasikan segala sesuatu dalam tiga kategori: hal-hal yang baik, hal-hal yang buruk, dan hal-hal yang tidak memiliki nilai moral (indiferen). Mereka mengajarkan bahwa satu-satunya hal yang baik adalah kebajikan moral, sedangkan satu-satunya hal yang buruk adalah kejahatan moral. Semua hal lain, termasuk kesehatan, kekayaan, atau reputasi, adalah indiferen dan tidak penting dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan batin.


4. Vita Activa


Filsafat Stoik mengutamakan tindakan atau kehidupan yang aktif dan berarti. Mereka mengajarkan bahwa kita harus mengambil tanggung jawab atas tindakan kita sendiri, berkontribusi pada masyarakat, dan berusaha untuk menjadi lebih baik secara moral.


Praktik Stoik dalam Kehidupan Sehari-Hari


1. Meditasi Kematian


Salah satu latihan penting dalam Stoisisme adalah merenungkan kematian. Ini bukan untuk menimbulkan kecemasan, tetapi untuk membantu kita menghargai hidup dan membuat keputusan berdasarkan apa yang benar dan penting dalam hidup kita. Merenungkan kematian membantu kita menghindari penghamburan waktu pada hal-hal yang tidak memiliki nilai moral.


2. Kontemplasi Impuls


Sebelum bertindak, Stoik menganjurkan kita untuk memberikan diri kita waktu untuk mempertimbangkan tindakan kita. Ini membantu kita menghindari tindakan impulsif yang mungkin bertentangan dengan kebijaksanaan dan nilai-nilai kita.


3. Penerimaan dan Kendali Emosi


Stoik mengajarkan bahwa kita harus menerima kenyataan apa adanya dan berhenti berjuang melawan hal-hal yang tidak dapat kita ubah. Ini tidak berarti resignasi, tetapi lebih kepada pengakuan bahwa kita hanya dapat mengendalikan reaksi dan tindakan kita sendiri. Ini membantu kita menghindari stres yang tidak perlu dan menjaga ketenangan pikiran.


4. Pemberian Nilai pada Hal yang Penting


Stoik mengajarkan bahwa satu-satunya hal yang benar-benar penting adalah kebajikan moral. Oleh karena itu, kita harus memberikan nilai tertinggi pada tindakan-tindakan yang baik dan benar, daripada hal-hal materi atau pencapaian yang sifatnya sementara.


Kesimpulan


Filsafat Stoik adalah aliran filsafat kuno yang memiliki aplikasi yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Ia menekankan pentingnya penerimaan, kendali diri, dan kebajikan moral dalam mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip Stoik dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat meresapi kebijaksanaan kuno ini dan menjadikannya alat yang berharga untuk mengatasi ketidakpastian dan menemukan arti sejati dalam hidup kita.

Senin, 02 Oktober 2023

Menyembuhkan Diri Sendiri: Kekuatan Dalam Diri Kita

Saat kita menghadapi tantangan fisik atau emosional dalam hidup, kadang-kadang kita mencari solusi dari luar. Namun, kita sering lupa bahwa salah satu sumber terbesar penyembuhan adalah diri kita sendiri. Mempelajari cara menyembuhkan diri sendiri adalah proses yang mendalam dan berkelanjutan yang melibatkan pengakuan kekuatan dalam diri kita, pemahaman akan penyebab perasaan dan kondisi kita, dan upaya untuk menciptakan perubahan positif dalam hidup kita. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi cara menyembuhkan diri sendiri, baik secara fisik maupun emosional.

Photo by Jade on Unsplash

1. Kesadaran Diri


Langkah pertama untuk menyembuhkan diri sendiri adalah mengembangkan kesadaran diri yang kuat. Ini melibatkan kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan, pikiran, dan reaksi kita terhadap berbagai situasi. Kesadaran diri adalah fondasi dari banyak teknik penyembuhan diri lainnya.


Cara untuk mengembangkan kesadaran diri melibatkan meditasi, yoga, atau bahkan jurnal pribadi. Praktik-praktik ini membantu Anda menjadi lebih terhubung dengan diri sendiri dan mengidentifikasi pola-pola yang mungkin berkontribusi pada masalah atau penyakit Anda.


2. Merawat Tubuh Anda


Fisik kita adalah rumah bagi jiwa kita, dan merawat tubuh kita adalah langkah kunci dalam proses penyembuhan diri. Nutrisi yang seimbang, olahraga teratur, tidur yang cukup, dan menghindari kebiasaan merusak seperti merokok atau konsumsi alkohol berlebihan sangat penting. Ini bukan hanya tentang menghindari penyakit, tetapi juga tentang menciptakan kondisi tubuh yang optimal untuk penyembuhan.


Selain itu, metode-metode seperti meditasi, yoga, dan pernapasan dalam juga dapat membantu meredakan stres fisik yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan.


3. Mendekati Penyebab


Untuk menyembuhkan diri sendiri, penting untuk mengetahui akar penyebab masalah Anda. Apakah itu rasa sakit fisik atau stres emosional, mengidentifikasi penyebab utama adalah langkah penting. Ini mungkin melibatkan kunjungan ke profesional kesehatan fisik atau mental.


Jangan ragu untuk mencari dukungan dari ahli yang berpengalaman dalam penyakit atau masalah tertentu. Mereka dapat membantu Anda mengidentifikasi penyebab dan merancang rencana penyembuhan yang sesuai.


4. Merancang Rencana Penyembuhan


Setelah Anda mengidentifikasi penyebab masalah, selanjutnya adalah merancang rencana penyembuhan yang efektif. Ini mungkin melibatkan kombinasi dari berbagai pendekatan, seperti perubahan pola makan, terapi fisik atau fisioterapi, terapi psikologis, atau bahkan pengobatan alternatif seperti akupunktur atau aromaterapi.


Rencana penyembuhan harus dipersonalisasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan individu. Ini juga harus realistis dan dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar.


5. Mengelola Stres


Stres adalah salah satu faktor yang paling sering berkontribusi pada masalah kesehatan fisik dan mental. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan strategi untuk mengelola stres dalam upaya penyembuhan diri.


Teknik-teknik seperti meditasi, yoga, tai chi, atau hanya berjalan-jalan di alam dapat membantu meredakan stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional. Juga penting untuk mengetahui batasan Anda dan belajar mengatakan "tidak" ketika diperlukan untuk menghindari stres berlebihan.


6. Menggunakan Kekuatan Pikiran


Pikiran kita memiliki kekuatan besar dalam pengaruh terhadap kesehatan kita. Terapi berbicara, seperti kognitif-behavioral therapy (CBT), dapat membantu mengubah pola pikiran negatif yang dapat memperburuk kondisi kesehatan.


Selain itu, konsep Hukum Tarik Menarik yang telah kita bahas dalam artikel sebelumnya juga dapat berlaku di sini. Berfokus pada pemikiran positif, visualisasi, dan keyakinan dalam kesembuhan Anda dapat membantu mempercepat proses penyembuhan.


7. Menjaga Dukungan Sosial


Dukungan dari teman, keluarga, atau kelompok dukungan adalah sumber kekuatan yang penting dalam proses penyembuhan diri. Jangan ragu untuk berbicara dengan orang-orang yang Anda percayai tentang apa yang Anda alami.


Berkomunikasi dengan orang lain yang telah mengalami hal serupa juga dapat memberikan wawasan dan dukungan tambahan. Merasa didengar dan didukung oleh orang-orang di sekitar Anda dapat membuat perjalanan penyembuhan menjadi lebih mudah.


8. Sabar dan Ketekunan


Penyembuhan diri sendiri adalah proses yang memerlukan waktu dan ketekunan. Anda mungkin menghadapi tantangan dan kemunduran di sepanjang jalan. Penting untuk tetap sabar dengan diri sendiri dan tidak menyerah ketika hal-hal menjadi sulit.


Ingatlah bahwa penyembuhan adalah perjalanan, bukan tujuan akhir. Setiap langkah kecil yang Anda ambil menuju kesehatan dan kesejahteraan adalah langkah yang bernilai.


Kesimpulan


Menyembuhkan diri sendiri adalah perjalanan yang mendalam dan berkelanjutan. Ini melibatkan pemahaman diri yang kuat, perawatan fisik, penanganan akar penyebab masalah, rencana penyembuhan yang efektif, pengelolaan stres, penggunaan kekuatan pikiran, dukungan sosial, dan ketekunan.


Ingatlah bahwa Anda memiliki kekuatan dalam diri Anda sendiri untuk menciptakan perubahan positif dalam hidup Anda. Meskipun bantuan dari luar mungkin diperlukan dalam beberapa kasus, Anda adalah agen utama dalam proses penyembuhan Anda sendiri. Dan berperan aktif dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan Anda.


Ketika Anda menyadari kekuatan dalam diri Anda sendiri, Anda dapat mengatasi berbagai tantangan dan menghadapinya dengan keyakinan yang lebih besar. Terlepas dari apakah Anda menghadapi masalah kesehatan fisik atau perjuangan emosional, prinsip-prinsip penyembuhan diri ini dapat membantu Anda mengatasi hambatan dan mencapai keseimbangan dalam hidup Anda.


Selain itu, penting untuk diingat bahwa setiap individu adalah unik, dan tidak ada pendekatan satu ukuran cocok untuk semua dalam penyembuhan diri. Metode dan teknik yang Anda pilih harus disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi pribadi Anda.


Bagi beberapa orang, menyembuhkan diri sendiri mungkin mencakup pendekatan medis yang lebih konvensional, seperti pengobatan dan terapi fisik. Untuk yang lain, kombinasi terapi alternatif dan pendekatan holistik mungkin lebih sesuai. Yang terpenting adalah bahwa Anda merasa nyaman dengan rencana penyembuhan Anda dan merasa terlibat dalam proses tersebut.


Jika Anda merasa kesulitan dalam menyembuhkan diri sendiri atau merasa terjebak dalam perasaan negatif, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Terapis, konselor, atau dokter dapat memberikan panduan dan dukungan yang diperlukan untuk membantu Anda melewati perjalanan penyembuhan Anda.


Terakhir, tetaplah berpikir positif dan optimis. Pemikiran positif memiliki dampak nyata pada kesehatan fisik dan emosional. Ketika Anda memiliki pandangan yang positif tentang masa depan Anda dan mempercayai kemampuan Anda untuk menyembuhkan diri sendiri, Anda memberikan diri Anda alat yang kuat untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang optimal.


Jadi, ingatlah bahwa Anda memiliki kekuatan dalam diri Anda sendiri untuk menyembuhkan diri Anda, baik itu fisik maupun emosional. Dengan kesadaran diri yang kuat, perawatan fisik yang baik, penanganan akar penyebab masalah, dukungan sosial, dan ketekunan, Anda dapat meraih kesehatan yang lebih baik dan mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Teruslah bergerak maju dalam perjalanan penyembuhan Anda, dan ingatlah bahwa Anda adalah agen utama dalam menciptakan perubahan positif dalam hidup Anda.

Minggu, 01 Oktober 2023

Hukum Tarik Menarik: Menarik Kekuatan Positif dalam Hidup Anda

Hukum Tarik Menarik, yang sering disebut sebagai "Law of Attraction" dalam bahasa Inggris, adalah konsep yang telah menjadi semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Konsep ini menyiratkan bahwa pikiran dan perasaan positif kita dapat mempengaruhi alam semesta untuk memberikan hal-hal positif dalam hidup kita. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi apa itu Hukum Tarik Menarik, bagaimana itu bekerja, dan bagaimana Anda dapat menggunakannya untuk mencapai tujuan Anda.

Photo by Mohamed Nohassi on Unsplash

Pengenalan Hukum Tarik Menarik


Hukum Tarik Menarik adalah gagasan bahwa energi yang kita pancarkan ke dunia, baik itu berupa pikiran, perasaan, atau tindakan, akan menjadi magnet untuk energi serupa dari alam semesta. Dalam kata lain, apa yang kita fokuskan dalam hidup kita, baik itu positif atau negatif, akan menjadi kenyataan. Konsep ini berasal dari aliran pemikiran baru dalam filsafat dan spiritualitas yang telah ada selama berabad-abad, tetapi baru-baru ini mendapat perhatian lebih luas melalui buku dan film terkenal seperti "The Secret."


Bagaimana Hukum Tarik Menarik Bekerja


Hukum Tarik Menarik bekerja berdasarkan prinsip bahwa energi positif menghasilkan hasil positif, sementara energi negatif menghasilkan hasil negatif. Ketika kita memiliki pikiran positif dan perasaan yang baik, kita mengirimkan sinyal ke alam semesta bahwa kita siap menerima hal-hal baik dalam hidup kita. Ini kemudian menghasilkan fenomena yang disebut sebagai "tarik-menarik" di mana alam semesta bergerak untuk memenuhi keinginan dan tujuan kita.


Penting untuk dicatat bahwa Hukum Tarik Menarik bukanlah sihir instan atau tindakan ajaib yang dapat mengubah hidup kita dalam semalam. Sebaliknya, itu adalah proses yang melibatkan perubahan pikiran, perasaan, dan tindakan kita seiring waktu. Keyakinan positif, visualisasi, dan fokus yang kuat pada tujuan-tujuan kita adalah beberapa komponen penting dalam menerapkan prinsip-prinsip Hukum Tarik Menarik.


Menerapkan Hukum Tarik Menarik dalam Hidup Anda


Jika Anda tertarik untuk menerapkan Hukum Tarik Menarik dalam hidup Anda, ada beberapa langkah yang dapat Anda ikuti:


1. Tentukan Tujuan Anda


Langkah pertama adalah menentukan apa yang Anda inginkan dalam hidup Anda. Apakah itu sukses dalam karier, hubungan yang sehat, kesejahteraan finansial, atau kesehatan yang baik, penting untuk memiliki tujuan yang jelas.


2. Visualisasikan


Visualisasikan diri Anda mencapai tujuan Anda dengan jelas dan rinci. Bayangkan perasaan bahagia dan puas yang akan Anda rasakan ketika tujuan itu tercapai. Semakin kuat Anda dapat membayangkan ini, semakin baik.


3. Berfokus pada Pikiran Positif


Hindari pikiran negatif atau keraguan yang dapat menghalangi Anda. Gantikan pikiran-pikiran tersebut dengan afirmasi positif dan keyakinan bahwa Anda dapat mencapai apa yang Anda inginkan.


4. Perasaan Positif


Selain pikiran positif, penting juga untuk merasakan perasaan positif. Tunjukkan rasa syukur untuk apa yang Anda miliki sekarang dan ciptakan perasaan bahagia dan percaya diri terkait dengan tujuan Anda.


5. Bertindak


Tindakan adalah bagian penting dari menerapkan Hukum Tarik Menarik. Lakukan langkah-langkah nyata menuju tujuan Anda. Jadilah proaktif dan buat perubahan yang diperlukan dalam hidup Anda.


6. Tetap Konsisten


Konsistensi adalah kunci keberhasilan. Teruslah menerapkan prinsip-prinsip Hukum Tarik Menarik dalam hidup Anda bahkan ketika Anda menghadapi rintangan atau kegagalan. Jangan pernah berhenti percaya pada diri sendiri dan tujuan Anda.


Kritik terhadap Hukum Tarik Menarik


Meskipun Hukum Tarik Menarik memiliki banyak penggemar dan penganutnya, ada juga kritik terhadap konsep ini. Beberapa orang berpendapat bahwa Hukum Tarik Menarik terlalu sederhana dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor luar seperti kondisi ekonomi atau lingkungan sosial.


Selain itu, beberapa kritikus berpendapat bahwa Hukum Tarik Menarik dapat mendorong pemikiran positif palsu yang mengabaikan masalah nyata yang perlu dihadapi dan diatasi dalam hidup. Terlalu banyak fokus pada "menginginkan sesuatu" juga bisa membuat orang merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki sekarang.


Kesimpulan


Hukum Tarik Menarik adalah konsep yang menarik yang telah menginspirasi banyak orang untuk mencapai tujuan dan impian mereka. Meskipun ada kritik terhadapnya, banyak yang percaya bahwa energi positif dan keyakinan dalam diri sendiri dapat membawa perubahan positif dalam hidup mereka.


Penting untuk diingat bahwa Hukum Tarik Menarik bukanlah solusi ajaib atau jaminan kesuksesan instan. Ini adalah alat yang dapat membantu Anda mencapai tujuan Anda jika digunakan dengan benar dan dengan disiplin. Yang paling penting, prinsip-prinsip Hukum Tarik Menarik mengingatkan kita akan kekuatan pikiran dan perasaan kita dalam membentuk realitas kita sendiri. Jadi, apa yang akan Anda tarik dalam hidup Anda hari ini? Itu tergantung pada Anda.

Senin, 31 Juli 2023

Orang Awam atau Intelektual, Mana yang Lebih Sukses Dalam Politik?

Tulisan fakir ini saya buat sungguh dengan sengaja. Meski idenya berawal dari ketidaksengajaan. Saya terus-menerus me-scroll video singkat di Youtube. Tibalah pada suatu video yang membahas sekilas relevansi masyarakat dan politik. Pembicaranya Dr Fahruddin Faiz. Saya sangat tertarik dengan kontennya.


Ilustrasi. (M Faisal/Radar Sampit)

Pendeknya, video itu membahas ihwal mana yang lebih layak berkiprah dalam politik, orang awam ataukah intelektual menurut filsuf Islam abad 14, Ibnu Khaldun. Saya tidak puas dengan penjelasan di video. Lalu, saya berselancar di mesin pencarian Google. Kepalang mujur bertemu karya Ibnu Khaldun yang membahas masyarakat dan politik ini.


Setelah puas mencari, tibalah saya pada sebuah karya Ibnu Khaldun berjudul Mukaddimah. Dalam Bahasa Indonesia berarti Pembukaan. Mukaddimah ini rupanya termasuk salah satu karya ikonik filsuf muslim di masa kejayaan Islam. Karya ini merupakan observasi atau pengamatan Ibnu Khaldun ratusan tahun yang lalu. Tapi, masih relevan dan segar rasanya pada hari ini.


Nah, siapakah yang dinilai lebih sukses dalam politik menurut Ibnu Khaldun? Orang awam ataukah intelektual? Simak kesimpulan saya dari membaca Mukaddimah. Semoga bisa menjadi panduan dalam memilih legislator ataupun pemimpin untuk kedepan.


Sebagai disclaimer, saya tidak membaca Mukaddimah yang asli. Saya membaca terjemahan yang dibuat Ahmadi Taha pada pertengahan 80an. Diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta. Konon, tidak banyak cendikiawan Indonesia yang mau berpeluh menerjemahkan karya-karya filsuf dari Timur. Saya angkat topi untuk yang satu ini.


Dalam Mukaddimah, Ibnu Khaldun banyak sekali membuat observasi tentang masyarakat. Saya sungguh terpukau dengan sejumlah observasi cemerlang yang saya temukan dalam buku ini. Salah satunya adalah tentang ulama dan politik.


Dalam hemat saya kata ulama yang ditulis Ibnu Khaldun bukanlah merujuk kepada kata ulama yang kita pahami pada era modern ini -bukan pula merujuk kepada majelis ulama. Ulama dalam buku ini memiliki makna yang luas. Kata ulama menurut saya merujuk pada kata intelektual atau cendikiawan. Dalam peradaban filsafat Barat biasa disebut philosope atau filsuf.


Menurut Ibnu Khaldun, ulama (dibaca: intelektual) merupakan kelompok masyarakat yang cenderung jauh dari politik. Alasannya sederhana. Para intelektual menyukai hal-hal mendalam dan detail. Watak seperti ini menurut Ibnu Khaldun, cenderung tenggelam dalam ide-ide dan refleksi intelektual. Bahasa sederhananya, cenderung idealis bukan praktisis.


Intelektual cenderung merujuk kepada hal-hal yang empiris. Minat intelektual bukan pada fakta-fakta yang bersifat sporadis atau yang carut marut, tetapi lebih mencari pola-pola umum tapi yang runut, atau apa yang disebut oleh Ibnu Khaldun sebagai umur kulliyyah ‘ammah.


Ibnu Khaldun tidak menafikan bahwa ia tergolong ke kelompok ulama atau intelektual. Sama halnya juga dengan seorang jurnalis. Bagi seorang jurnalis, informasi-informasi kecil cenderung tidak menarik. Informasi atau pola-pola besar yang dikupas mendalam dengan berbagai pendekatan, itu baru menarik. Artinya, intelektual melekat pada abstraksi pemikiran yang detail bukan yang umum. 


Dalam hemat Ibnu Khaldun, intelektual lebih cenderung melihat sesuatu hal dengan sebuah pisau analisa. Oleh Ibnu Khaldun disebut Qiyas atau dalam bahasa lain analogi fikih. Pengertian qiyas secara bahasa merupakan tindakan mengukur sesuatu atas sesuatu lainnya dan kemudian disamakan. Secara istilah qiyas adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya.


Menariknya bahwa dalam pandangan Ibn Khaldun, setiap peristiwa dalam dunia politik sangat unik. Keunikan ini menuntut perlakuan khusus pula. Sehingga, qiyas cenderung kurang tepat dipakai dalam menangani perkara-perkara politik. Seorang intelektual yang biasa bekerja dengan qiyas dan pola-pola umum seperti teori, biasanya cenderung gagal dalam sektor politik, karena mereka mengira bahwa suatu pola bisa diterapkan di mana-mana. Sebab, politik bersifat dinamis bukan statis. 


Dalam pada itu, Ibn Khaldun kembali membeberkan kecenderungan kaum intelektual. Menurutnya, intelektual lebih sering memproyeksikan suatu hukum yang berlaku pada suatu kasus ke kasus-kasus lain. Dalam istilah Ibnu Khaldun disebut muhakah. Para intelektual kerap bertumpu pada qiyas dan muhakah ini. Sementara politik tidak bisa diperlakukan dengan cara demikian.


“Suatu keadaan yang berkaitan dengan peradaban tertentu tak bisa dianalogikan dengan keadaan (peradaban) lain, sebab, meskipun boleh jadi mengandung kesamaan dalam satu hal, dua keadaan itu juga mengandung perbedaan dalam segi-segi yang lain. Itulah sebabnya, seorang ulama yang biasa melakukan generalisasi atas suatu hukum dan menganalogikan suatu gejala dengan gejala yang lain, saat mereka menganalisa politik, cenderung menumpahkan gejala-gejala politik itu ke dalam bejana teoritik (qalab andzarihim) dan sejumlah deduksi mereka yang lain. Karena itu, mereka seringkali melakukan kesalahan.” (Mukaddimah halaman 542, baris 14-17).


Di lain pihak, dalam pengamatan Ibnu Khaldun. Orang-orang awam justru tidak terbiasa dengan qiyas dan muhakah ini. Sehingga orang-orang awam lebih mudah terhindar dari kecenderungan “meng-qiyas-kan” satu gejala dengan gejala yang lain. Kedangkalan watak kaum awam, kata Ibnu Khaldun, adalah seperti seorang perenang di samudra yang selalu awas dan menjaga diri terus dekat dengan pantai, dan tidak keasyikan lalu lepas ke tengah lautan sehingga akhirnya tenggelam.


Kesimpulan saya :


- Pemikiran intelektual fokus pada hal-hal rumit. Kerap mengabaikan hal-hal kecil untuk hal-hal yang besar. Sementara pemikiran orang awam bisa fokus pada hal-hal kecil. 

- Politik itu butuh orang-orang yang bisa mengurusi hal-hal kecil. Bukan hal-hal yang teknis, operatif dan fantastis.

- Pengetahuan akademik tidak melahirkan politisi ulung, tetapi melahirkan orang-orang yang ahli di bidang politik.

- Orang awam learning by doing. Belajar dari pengalaman.

- Kalau berenang ya berenang saja hingga ke tepian, jangan terlalu banyak bergaya nanti tenggelam. Hehe. Wassalam.


Rabu, 02 Desember 2020

Menulis Adalah Kematian yang Kau Percepat

Matahari baru sedikit saja menggelinding ke barat ketika kudapati ide untuk meriwayatkan tulisan ini. Sementara itu lamat-lamat terdengar tembang Kasih milik Ermy Kullit dari ruang tengah. Ah sial! Bagaimana bisa keponakanku yang terbilang anak zaman sekarang menyukai lagu yang penyanyinya sebantaran ibuku itu.


Unsplash/Patrick Fore

Malam ini kasih teringat aku padamu

Seakan kau hadir di sisi menemaniku

Kuyakinkan diri ini agar tiada sepi

Kulewatkan hari di dalam mimpiku


Seandainya mungkin kumampu terbang ke awan

Detik ini juga kuakan melayang ke sana

Kau kubawa pulang dirimu yang slalu kusayang

Bersama, berdua kita bahagia


Kasih dengarlah hatiku berkata

Aku cinta kepada dirimu sayang

Kasih percayalah kepada diriku

Hidup matiku hanya untukmu


(Kasih-Ermy Kullit)


Namun, demikianlah musik tulis Fajar Martha, -penulis yang  karyanya kugandrungi belakangan ini- ia seperti sastra. Ia adalah soal rasa. Rasa yang timbul darinya disemai melalui pengalaman hidup sehari-hari. Ia bisa datang dari mana saja, dan disukai oleh siapa saja.


Ya sudahlah, mari abaikan saja musikalitas keponakanku itu, toh Jason Ranti -psikolog  yang juga penyanyi- pernah bilang; musik itu cuma ada dua genre, musik yang enak didengar dan musik yang tidak enak didengar. 


Kuingin garis bawahi kata "enak" dan "tidak enak" untuk tulisan berikut ini. Barangkali kedua kata tersebut bisa sepadan dengan kalimat; "tulisan yang enak dibaca dan yang tidak enak dibaca." Boleh jadi tulisan yang tengah sidang pembaca simak ini termasuk ke dalam salah satunya. Boleh jadi sangat tidak enak, sebab dari awal sampai detik ini melewar entah ke mana - seperti kiramu tentangku saat ini. Percayalah kubisa terima itu.


Sampai di paragraf ini, kembali kuteringat quotes super dari pencipta Alina yang sendu; Seno Gumira Ajidarma. Dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, dia meriwayatkan bahwa menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan disanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.


Quotes itu benar adanya, sebab banyak kudapati penulis yang berkata-kata melalui tulisannya. Lebih-lebih bagi penulis yang kukenal dekat. Melalui tulisannya, kubisa lihat mimik dan gestur tubuhnya saat bicara. Amboi! Beruntungnya "aku".


Tapi kukira menulis adalah "kematian" yang kau percepat atau yang harusnya kau percepat. Mati dari segala rasa ke"aku"an; mendaku, diakui, terakui, mengakui. Setelah kau menulis, harusnya kau menjadi hampa. Biarkan tulisanmu mencari nasibnya sendiri, tanpa perlu kau urusi kemana ia akan pergi. Tapi sayang, kini banyak yang menjajakan karya yang ditulis.


"Aku suka menulis. Aku cinta menulis. Tetapi aku menulis untuk diriku sendiri dan kesenanganku sendiri,” kata J.D Salinger, yang mungkin bisa menjelaskan mengapa ia sangat tidak mau dikenal sebagai penulis. Meski banyak yang bilang itu tidak ubahnya dengan onani, tapi kupikir dia jauh lebih baik dari mereka yang menandatangani buku-buku dengan iming-iming diskon karena memesan lebih awal. Betapa malangnya mereka yang tidak tahu dirinya jadi korban dan dikorbankan, kata Seno Gumira Ajidarma dalam Kitab Omong Kosong.


J.D Salinger menulis “The Catcher in the Rye" tahun 1951. Dua tahun setelah itu ia pindah ke daerah pedesaan terpencil di Cornish, New Hampshire, Amerika Serikat. Ia mengasingkan diri hingga akhir hidupnya di sana. Tak hanya itu. J.D Salinger melengkapi dirinya dengan senapan. Dia anti selebriti. Ia pun tak mau fotonya berada di sampul bukunya sendiri. Kukira ia penulis yang benar-benar hanya ingin menulis.


”Ketika tulisanmu begitu melejit maka kamu tak bisa lagi menandinginya,” kata Harper Lee mengingatkan.


Tulisan singkat lagi fakir pengetahuan ini bukan bermaksud bertendensi. Sebab, sampai sekarang penulis sendiri belum bisa lepas dari kalimat-kalimat yang ditulis. Dan membiarkannya mencari untungnya sendiri. Pertama, semati-mati angin, selemah-lemah iman, penulis masih berkeinginan tulisan-tulisan yang dihasilkan dibaca banyak orang. Walau itu hanya corat-coret yang kusebut tulisan.


Kemudian, kali keduanya, kita juga tidak bisa mungkiri motivasi seseorang untuk menulis. Jika menulis hanya sekadar untuk menulis tanpa ada iming dan pengharapan di baliknya, maka itulah jalan yang ia pilih. Kita harus hargai itu. Juga sebaliknya, jika menulis untuk menafkahi, itu juga pilihan yang harus dihargai. Menulis untuk jadi selebriti itu juga pilihan.


Menurut pengetahuanku yang sempit, barangkali dulu pada awalnya, alasan orang menulis ya sekadar menulis. Menulis untuk menghibur, menulis untuk perjuangan, menulis untuk pengetahuan atau berdakwah barangkali muncul belakangan ini, setelah pengalaman-pengalaman manusia semakin kompleks.


Terakhir, tulisan sama halnya dengan musik. Sebagai produk kultural, ia boleh saja terkait perkara selera -enak atau tidak enak. Ia boleh saja terkait perkara motivasi. Ia boleh saja terkait perkara pengalaman-pengalaman hidup yang dirasai. Ia boleh saja dikekang atau dilepas kemanapun ia senangi. Sebab tulisan itu soal rasa, maka boleh jadi setelah menulis membuatmu "mati rasa".


Karena melalui tulisan kita bisa curhat, barangkali tulisan ini salah satunya. Selamat berakhir pekan, mungkin hari ini aku harus menyelesaikan kencan rahasiaku bersama Iris Murdoch. Salam.

Jumat, 24 November 2017

Dylan dan Nobel Sastra yang Berpolemik

Musikus asal Amerika, Bob Dylan baru-baru ini menyabet penghargaan Nobel Sastra 2016. Konon, nobel tersebut diserahkan kepadanya karena ia dinilai kerap menulis lirik lagu bernada puitis. Pemberian penghargaan tertinggi dunia sastra tersebut diserahkan kepadanya berserta polemik yang menyertai. Para kritikus sastra terbagi dua olehnya, ada yang mengganggap Dylan sebagai penemu new expression poetic, ada yang  bilang kalau Dylan sebagai penyair yang berkedok musikus, dan ada yang memantaskan Dylan sebaiknya jadi musikus saja.

Photo by Brett Jordan on Unsplash

Terlepas dari itu semua, kini pria kelahiran 75 tahun silam itu telah diberi penghargaan sastra tertinggi berserta predikat yang menyertainya. Kalangan kritikus sastra mempunyai dua pilihan, menerima predikat tersebut, atau meneruskan polemik. Kata kuncinya di sini adalah ‘kritikus sastra’ bukan sastrawan.


Dalam sebuah guyonan, penulis sempat melontarkan pertanyaan dan pernyataan seperti ini; siapa sih yang pantas disebut sastrawan? Apakah seseorang yang menempuh pendidikan sastra bisa dikatakan sastrawan? Lalu bagaima jika ia tidak berkarya? Menjadi kritikus sastra misalnya? Lalu kemudian, mengapa mereka yang kuliah di Fakultas Sastra, belajar teori sastra dan kritik sastra? Dosen sastra apakah sastrawan?


Tulisan ini adalah tulisan yang muncul dari pemikiran sesaat seseorang yang bukan dari dunia sastra, mengenal sastra hanya dari luar saja. Namun demikian kiranya tulisan ini bersumber dari niat yang baik. Sebenarnya tulisan sejenis sudah berseliweran di mana-mana. Jika ada salah dan jangkal maaf diminta banyak-banyak, mohon kiranya dikoreksi. Penulis menyadari betul predikat yang akan diberikan sidang pembaca kepada penulis setelah membaca tulisan ini.


Apakah Bob Dylan Sastrawan?


Mari penulis mengajak sidang pembaca sekalian untuk menengok kembali kata sastra. Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘shastra’, yang artinya “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ artinya “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “sarana” atau “alat”. Jika dibahasakan ke Bahasa Indonesia kata sastra biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sejenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.


Lebih ruwet lagi, selain dalam konteks arti kesusastraan, sastra dibelah lagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (sastra oral). Artinya sastra tidak melulu berhubungan dengan tulisan, tetapi juga dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.


Supaya lebih terang bak matahari, mari kita tengok istilah sastrawan. Masih agak bias memang istilah tersebut, terlebih antara pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Dalam hemat penulis segmentasi sastra lebih mengacu kepada defenisinya sebagai sekedar teks. Sementara sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah satu diantaranya, adalah diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.


Kiranya dari pemahaman di atas dapat mengantar sidang pembaca sekalin untuk memposisikan Bob Dylan, apakah bisa dikatakan sastrawan atau lebih tepat dilabeli dengan istilah musikus. Silakan berpendapat.


Mengapa begitu dipersoalkan?


Banyak pihak menilai pemberian penghargaan nobel kepada Bob Dylan telah menggemparkan dunia sastra. Mereka yang menggeluti dunia sastrawi selama puluhan tahun susah payah untuk mendapatkan gelar tersebut. Loh, kok Dylan yang lebih dikenal banyak orang sebagai musikus malah disambet perhargaan tersebut? Sentimen semacam ini agaknya memicu persoalan tersebut.


Dalam hemat penulis (boleh diklarifikasi) beberapa dekade terakhir istilah sastra seolah telah dikotakkan oleh satu kajian ilmu. Seolah yang bisa ‘nyastra’ ialah mereka-mereka yang menekuni kajian tersebut. Sementara diluarnya ialah mereka yang berkarya sebagai pelampiasan kegalauan saja. Adalah yang digolongkan sastra populer yang booming sekali waktu.


Menarik untuk dipersoalkan di sini ialah, menyepakati hal berikut; sastrawan bukanlah mereka yang menyadang gelar akademik, ataupun mereka yang menulis buku diary. Sastrawan ialah mereka menggeluti sastrawi dengan ragam pemikiran yang mendalam. Kata kuncinya di ‘pemikiran’.


Roland Barthes dalam bukunya The Rustle of Language menerangkan hakikat sastra dan peranan sastra, yang amat luas dan mendalam, tidak sama seperti pandangan umum. Sastra hadir dalam bentuk institusi dan karya. Dan karya itu bukan pula memaparkan realitas sosial saja, akan tetapi juga memberitahukan status sosial pengarang atau sastrawannya, juga menyertakan ideologi, pemikiran, serta kritikan terhadap masyarakat. Sebagai sebuah karya sastra, ia mempunyai amanat khusus dan kaya dengan sarana-sarana retorik. Mari kita melihat manfaat sastra dan fungsi sastra dalam wilayah tersebut.


Apa yang perlu diterangkan ialah maksud ‘pemikiran’ di sini. Ialah suatu usaha pengarangnya dalam memikirkan bagaimana mangatasi masalah tertentu (termasuk dalam diri) yang tengah dihadapi. Andai kata sastrawan mempunyai pendapat dan pemikiran tertentu dalam karyanya yang berhubungan dengan manusia dan kemanusiaannya atau masyarakat dan kemasyarakatannya, alam dan lain sebagainya, maka pendapat atau pemikiran tersebut dapat kita kutip, dan kepadanya kita sematkan predikat sastrawan. Seharusnyalah sastrawan dan intelektual menjadi pemikir di zaman yang ia lalui.


Lalu Bagaimana Dylan?


Barangkali khalayak awam tidak ramai membicarakan ihwal sastra maupun sastrawan. Tidak banyak yang melihat sastra sebagai alat dan cara manusia berkomunikasi antar sesamanya. Barangkali ini terjadi karena tidak banyak yang mengira sastra dapat dijadikan wadah untuk berkomunikasi. Barangkali juga kita tidak pernah memperbincangkan bahwa hakikat sebuah karya sastra itu mempunyai nilai-nilai khusus, terutama yang berhubungan dengan pembentukan pola pikir manusia. Barangkali juga dikarenakan sastra telah menjadi bidang ilmu.


Aart van Zoest pernah berpendapat, bahwa proses komunikasi sastra akan lebih berkesan jika terjadinya proses indentifikasi, seperti pembaca berhasil menyatukan diri dengan watak atau tokoh yang didenotasikan oleh teks dengan pikiran, perasaan, dan pengelaman sastrawan. Jadi alurnya seperti ini; pengarang-teks-pembaca. Kata kuncinya ‘pengarang’, ‘teks’ dan ‘pembaca’. Ihwal Dylan silakan sidang pembaca sekalian berpendapat.


Kritikus Sastra bukan Sastrawan


Bolehlah penulis menuliskan pendapat di sini, bahwa kritikus sastra bukanlah seorang sastrawan, dan predikat sastrawan tidak melulu diperuntukkan bagi mereka yang menekuni ilmu sastra yang tidak berkarya. Teori dan praktik ialah dua hal yang berbeda. Mengapa demikian?


Apa jadinya jika seorang yang telah menggeluti teori sastra menjadi seorang sastrawan? Bisa ditebak karya yang akan dihasilkannya. Sudah barang tentu karya yang dihasilkan kaku seperti ajaran teori-toeri yang menggenangi benaknya, sedikit banyaknya akan dipengaruhi dan terpenjara dengan hal yang demikian. Ketika ia telah bertindak sebagai sastrawan lalu siapa lagi yang akan mengulas karya sastra, apakah orang-orang itu juga? Apakah kekakuan yang demikian yang diharapkan? Tentu tidak.


Dalam hemat penulis, lebih tepat mereka yang menekuni ilmu sastra bertindak sebagai pengamat sastra. Mereka yang membedah karya-karya sastra dari ragam latarbelakang, sehingga dengan demikian peradaban sastra yang lebih baik dapat diwujudkan. Sudah tepat kiranya jika kritikus sastra mempertanyakan ihwal perhargaan yang diberikan kepada Dylan, memang begitulah seharusnya. Sebab, merekalah yang lebih banyak tahu tentang dunia sastra. Tentunya, kritikus sastra juga harus bebas dari segala sentiman yang berseliweran, bertindak dengan seobjektif mungkin.


Pada akhirnya penulis menyimpulkan, kegegeran dunia sastra saat ini bisa jadi dikarenkan pengkotakkan yang telah disebutkan di atas. Barangkali karya sastra saat ini telah beralih menjadi karya seni hiburan yang minus amanat dan pemikiran pengarang, sehingga tidak ada gairah pemikiran yang disematkan. Karya sastra yang diciptakan saat ini disesuaikan dengan keinginan dan minat pembaca, kita kenal dengan sastra populer. Sastrawan seolah melahirkan karya-karya pesanan, tanpa mengolah rasa dan perasaan serta pemikiran. Buruknya lagi, budaya tekstual yang kental di bidang sastra, bergeser sedikit demi sedikit, pemberian gelar atas Dylan satu diantaranya. Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kelompok musik (Boy Band) disabet nobel sastra, itu artinya kita tinggal menunggu tenggelamnya kesusastraan. 

Belajar Hidup Komunal dari Larik yang Membentuk Bait

Kehidupan yang semakin sulit telah memaksa siapa saja berbuat apapun, termasuk melupakan pentingnya saling merangkul. Saling sikut agaknya menjadi lebih menarik hari ini, atau selemah-lemahnya iman adalah saling tidak mempedulikan. Hal yang sedemikian memang mudah melanda ketika paceklik mencekik. Namun, menziarahi kembali nilai-nilai kebersamaan agaknya bukanlah dosa untuk dilakukan saat ini. Merendahkan ego sepertinya dapat menjadi solusi terbaik dan mari kembali hidup dengan niat kebersamaan.


Unsplash/Helena Lopes


Ini bukan perkara komunal yang selalu diidentikkan dengan masyarakat egaliter, atau bukan juga capaian yang ingin diraih masyarakat subsisten. Namun, ihwal mengenang titik di mana menjalani hidup dengan tujuan awal yang dibersamakan. Agaknya kita perlu belajar dari pepetah Minang berikut ini :


Sasakik sasanang, sahino semalu

Nan ado samo dimakan, nan indak samo dicari

Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang

Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun

Tatilantang samo minum ambun,

Tatilungkuik samo makan tanah,

Laki-laki samalu, parampuan sarasan


Jika terjemahkan ke Bahasa Indonesia kurang lebih artinya seperti berikut ini :


Sesakit sesenang, sehina semalu

Yang ada sama dimakan, yang tidak sama dicari

Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing

Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun

Tertelentang sama minum embun

Tertelungkup sama makan tanah

Laki-laki semalu, perempuan serasa


Indah benar rupanya arti dari pepatah tersebut. Kiranya spirit kebersamaan begitu kental di tiap larik yang menghimpun menjadi bait itu. Jika dibedah lagi satu-satu kita dibuat tambah terperanga lagi. Berikut makna yang dapat disimpulkan penulis terkait pepatah orang Minang tersebut, jika ada salah dan janggal, maaf diminta banyak-banyak.


Tidak lain tidak bukan, penulis memaknai pepatah di atas dengan mengarahkannya kepada konteks kepedulian dan solidaritas. Kepedulian ialah suatu perasaan yang dirasa, yang berkaitan dengan tanggungjawab atas kesulitan yang dihadapi oleh orang lain, di mana seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu sebagai solusi. Sekonyong-konyong dalam kehidupan bermasyarakat kepedulian lebih kental diartikan sebagai perilaku baik seseorang terhadap orang lain di sekitarnya.


Kiranya dalam hemat penulis, kepedulian dapatlah dimulai dari kemauan untuk memberi, tanpa melihat subjek penerima. Sedikit lebih religus, sebagaimana ajaran Rasul untuk mengasihi yang kecil dan menghargai yang besar; orang-orang kelompok ‘besar’ hendaknya mengasihi dan menyayangi orang-orang kelompok ‘kecil’, pun sebaliknya.


Mencapai kedamaian di hidup ini kiranya kita butuh suatu yang disebut empati. Sebab, tanpa itu, mungkin saja kita tidak akan bertahan hidup sejauh ini. Lebih-lebih orang-orang sesumbar melabeli kita sebagai makhluk sosial. Makhluk yang kiranya memahami betul kondisi yang bergantung dan tidak bisa hidup jika tidak saling membutuhkan satu dengan yang lain. Adalah kedamaian timbul karena adanya hal yang demikian. Jika lebih liris lagi kita menyebutnya cinta dan kasih sayang. Keduanya merupakan pemicu gejolak hidup dalam mengasihi dan menyayangi orang lain tanpa melihat status. Keduanya butuh kepedulian.


Mari saya ajak sidang pembaca sekalian kepada kesepakatan seperti ini; bahwa kepedulian mengungkap hakikat keberadaan kita sebagai manusia. Adalah kepekaan yang timbul untuk peduli dan menolong antar sesama dalam mempermudah situasi yang ada. Terpenting adalah gejolak hasrat yang menakar sejauh mana kita peduli pada sesama dan melakukan tindakan kecil yang digolongkan perbuatan menolong. Sebab perasaan kasihan saja tidak akan berarti apa-apa. Untuk melaluinya dengan baik ialah mengasah rasa dan kepekaan terhadap siapa saja.


Serupa kiranya ihwal kepribadian, solidaritas adalah adik kandung yang sebaya. Bolehlah kita maknai solidaritas sebagai wujud kepedulian antar sesama kelompok ataupun individu secara bersama yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara indvidu dan atau kelompok yang didasarkan pada persamaan moral, presepsi kolektif yang sama, dan kepercayaan yang dianut serta diperkuat oleh pengalaman emosional.


Solidaritas kerap dipandang sebagai perpaduan antara kepercayaan dan perasaan yang dimiliki secara bersama-sama. Rangkaian kepercayaan tersebut telah membentuk suatu sistem dan memiliki nyawa tersendiri. Pada kajian lebih dalamnya, Durkheim pernah mengemukakan pernyataan yang lebih meyakinkan mengenai hakikat solidaritas juga menetapkan kriteria metode analisisnya. Ia membanginya menjadi kepada aspek mekanis dan organis. Mari kita menceritakan keduanya di lain waktu dan kesempatan.


Mendasar sekali dari tulisan ini ialah bagaimana kita belajar hidup bersama dengan segala kemungkinan tersulit. Saling renda-merenda, ulas-mengeluas, bilai-membilai. Menjalin kehidupan yang hangat kiranya dapat mendinginkan teriknya matahari ketika paceklik. Adalah menerima hal yang tidak terduga sebagai pilihan terbaik, dan berusaha terus berada pada kesadaran yang sama.

Minggu, 01 Oktober 2017

Menjadi Masyarakat dan Bangsa Pembaca

Barangkali tanpa disadari peradaban dunia dimulai dan dibentuk dari aktivitas membaca orang-orang terdahulu. Baik aktivitas membaca bahasa kata-kata ataupun bahasa tulis. Artefak, prasasti, teks, naskah, surat kabar, buku, bahasa dan lain sebagainya dapatlah dikatakan alat penyampai pesan dan makna dari dulu hingga sekarang. Tentu saja pesan dan makna tersebut akan tersampaikan melalui proses membaca. Hingga hari ini, aktivitas membaca masih terus dan akan berlangsung hingga ujung peradaban.

Photo by Blaz Photo on Unsplash

Mungkin kita tidak akan berseberangan ketika mengutarakan pendapat mengenai kenyataan negeri hari ini. Begitu banyak persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini, mulai dari masalah korupsi, ketidakadilan hukum, kesenjangan sosial, sampai kepada peristiwa bencana alam. Ditambah lagi dengan permasalahan minat baca yang akan disampaikan penulis kali ini. 


Kiranya kita harus bisa menerima kenyataan bahwa semakin kesini bahan bacaan yang sarat dengan pengetahuan mulai ditinggalkan. Atau katakanlah saat ini minat masyarakat kepada bahan bacaan fisik seperti buku dan surat kabar mengalami kemerosotan. Masyarakat lebih condong membaca bahan bacaan virtual, seperti bacaan hiburan yang ada di media sosial.


Sekelumit Tentang Bacaan dan Membaca


Proses yang dilakukan seseorang dalam memperoleh pesan, baik melalui kata-kata ataupun bahasa tulis disebut dengan membaca. Adapun tujuan dari membaca itu sendiri adalah untuk mencari dan memperoleh informasi, sehingga dapat dipahami secara isi dan makna bacaan. Demikian setidaknya Henry Guntur Tarigan (2008) mencoba menjelaskan makna dan tujuan membaca dalam bukunya yang berjudul Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Bahasa.


Lebih lanjut, Jaya Suprana (1997) dalam sebuah buku yang memuat tulisan miliknya yang berjudul Buku : Sebuah Kontemplasi, mengatakan ada hal lain yang perlu disadari dan dipahami oleh seseorang selain dari membaca bahasa tulis. Seseorang juga harus bisa membaca suasana, lingkungan, gerak, suara, rasa, rabaan, bau, sandi, cuaca, waktu, perilaku, zaman dan lain sebagainya.


Barangkali dari dua penjelasan di atas dapatlah penulis tarik kesimpulan bahwa setiap individu diharuskan untuk membaca, karena membaca merupakan hal yang melekat pada diri seorang individu, pun semua yang ada disekitar diri seorang individu merupakan bahan bacaan. 


Jamak dari kita tentu pernah mendengar dan menyimak para penceramah, pembicara, komentator, atau penulis begitu piawai menyampaikan pendapat dan gagasannya berkenaan permasalahan yang tengah hangat dibicarakan. Barangkali juga kita pernah mendengar lagu dengan lirik sangat puitis yang dapat mempermainkan emosi orang yang mendengarkan. Dalam hemat penulis, semua itu merupakan sebuah proses dari kegiatan membaca.


Sedikit Paradoksal


Jika kita bersepakat mengatakan kegiatan membaca merupakan hal yang melekat pada diri seseorang, lalu mengapa semakin kesini minat baca mengalami kemerosotan? Mengapa orang-orang tidak begitu bergairah mengunjungi toko-toko buku? Mengapa Perpustakaan Daerah hanya disambangi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan saja? Barangkali pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan kita bersama hari ini.


Pada kesempatan ini, penulis akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Meski tidak satu per satu dan terperinci, barangkali penulis dapat menyimpulkan dalam satu pokok pemikiran saja. Dalam hemat penulis, pokok pemikiran tersebut dapatlah kita kerucutkan pada kata 'sebab'. Pendeknya, banyak hal yang menyebabkan minat baca masyarakat menjadi berkurang, katakanlah beberapa diantaranya seperti belum sampainya pengetahuan, akses, dan fasilitas.


Belum sampainya pengetahuan disini, marilah kita artikan dengan belum tercapainya misi pendidikan nasional dalam mengatasi buta huruf. Sementara terkait akses dan fasilitas, penulis ingin menyontohkan keruwetan dalam mendapatkan bahan bacaan, katakanlah buku. Bahkan, untuk meminjam pun mengalami kesulitan. Sehingga tak jarang seseorang yang memiliki minat baca yang tinggi melakukan upaya 'mengutil', atau kepalang mujur menemukan bahan bacaan di bekas bungkus nasi.


Kiranya sudah sangat terlambat penulis mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia, dan semua itu terdapat di rak-rak pertokoan dan perpustakaan. Barangkali tak jarang sidang pembaca sekalian mengalami kesulitan untuk mengakses bahan bacaan di tempat-tempat tersebut. Kemudian, tak kalah ketinggalan adalah harga beli buku yang semakin kesini semakin tak terjangkau. Suatu langkah maju ketika nantinya pemerintah merealisasikan subsidi harga buku.


Pada sisi lain, penulis sendiri pun menyadari betapa paradoks wajah literasi di negeri ini. Bahan bacaan fisik sudah mulai ditinggalkan pembaca, sementara para penulis terus bertambah subur jumlahnya, bahkan terkadang mesti membuat sensasi dulu baru karyanya akan dilirik pembaca.


Masyarakat dan Bangsa Pembaca


Ignas Kleden (2004) pada suatu kesempatan dalam tulisannya yang dimuat dalam buku Masyarakat dan Negara : Sebuah Persoalan, mengingatkan kita kepada sejarah bangsa. Dikatakannya dengan tegas bahwa para tokoh pendiri Republik Indonesia adalah orang-orang terdidik dan terpelajar. Tokoh-tokoh tersebut telah merupa 'Narasi Nasional' yang menghendaki generasi penurus bangsa yang terdidik dan terpelajar juga.


Dengan penafsiran yang cemerlang, Adew Habtsa (2014) dalam bukunya Menjadi Bangsa Pembaca, menafsirkan makna dari Tugu Proklamasi. Dikatakannya di tugu tersebut sosok proklamator berdiri tegak menghadap pengeras suara seraya memegang selembar teks. Arca tersebut seolah menjadi metafor tentang bangsa pembaca, yakni bangsa yang memiliki kemauan dan menyatakan kehendak melalui aksara.


Penulis berpandangan untuk menjadi generasi yang layak meneruskan Republik Indonesia adalah mereka yang terdidik dan terpelajar. Hanya orang terdidik dan terpelajar yang dapat mengakses informasi dan pengetahuan hari ini. Hal tersebut akan terjadi ketika masyarakat telah terbiasa untuk membaca, baik bahan bacaan yang diwajibkan secara pragmatis, maupun bahan bacaan yang memang dibutuhkan untuk pengembangan diri.


Lalu bangsa pembaca seperti apa yang kita maksud? Jakob Sumardjo (2003) membantu kita menjawabnya. Dikatakannya ada dua jenis pembaca di Indonesia, yaitu (1) pembaca hiburan yaitu mereka yang menggemari tontonan dan bacaan, (2) pembaca haus informasi yakni (i) pembaca biasa yaitu mereka yang membaca untuk memperoleh informasi saja, (ii) pembaca intensif yaitu mereka yang membaca segalanya, lebih dari sekedar mendapat informasi saja.


Dari penjelasan di atas barangkali telah menjawab pertanyaan seperti apa yang dimaksud. Penulis masih percaya bahwa pembaca yang mengaktualisasikan bacaanya akan dapat menyelesaikan persoalan bangsa yang kian rumit. Bagi penulis, apa yang kita rasakan hari ini adalah hasil bacaan generasi terdahulu. Pembaca yang buruk pada masa lalu akan menghasilkan sejarah yang buruk untuk hari ini, demikian juga sebaliknya.

Kamis, 20 April 2017

Mendengarkan Lagu Sambil Menghayal Adalah Hiburan yang Paling Ramah

Saat menuliskan cerita ini saya tengah mendengarkan lagu Blues Males-Slank sambil malas-malasan serta berharap bisa nonton langsung konsernya tanpa harus bayar mahal. Lihai betul grup musik ini menciptakan lagu. Dulu. Sebelum mengenal politik.


Unsplash/Eric Nopanen

Tiada yang lebih menyenangkan rasanya ketika mendengarkan lagu kesukaan sambil berhayal bukan? Selain gratis, hal tersebut juga tidak dilarang, bahkan dianjurkan, lebih-lebih bagi yang hidup di negeri dimana hiburannya dinomorsatukan.


Sebab dilamun lagu, sampailah saya kepada pertanyaan begini; kapan pertama kali lagu diciptakan, dan lagu apa? Adakah Adam menyanyikan sebuah lagu ketika merayu Hawa dulu, layaknya sekarang? Atau ketukan seperti apa yang disukai remaja purba dahulu? Ai, sudah malas ditambah suka berhayal, masih saja suka bertanya-tanya ini dan itu, memanglah saya manusia tak tahu diuntung.


Bukannya mencari jawaban pertanyaan tersebut di perpustakaan google -cuma google yang menyediakan segalanya dengan harga paling ramah saat ini, toko buku di kampung saya tidak ada menyediakan rubrikasi musik, kalaupun ada harganya tak mampu saya sanggupi, perpustakaan daerah pun tak ada ubahnya-saya malah buru-buru mencari kertas. Membuat semacam coretan yang saya sebut peta pemikiran, sebenarnya lebih mirip, urat terung akar. Saya pikir peta pemikiran soal lagu yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut ada gunanya di kemudian hari.


Belum lagi coretan tersebut diselesaikan, saya kembali menancapkan pengeras suara ke telinga. Tanpa sengaja pemutar musik gawai memainkan musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni. Amboi, pandai benar si penyanyi merayu saya untuk kembali malas. Saya merebahkan badan di kasur. Perlahan mata dipicingkan, saya kembali hanyut dalam hayalan. Membayangkan menjadi seorang aktor dalam lagu.


Apakah sidang pembaca pernah seperti itu, bahkan lebih dari itu?


Jika sidang pembaca sekalian merasa malu mengakuinya dengan lantang, cukup saja anggukkan hati pertanda iya. Jangan jadi seorang pemalu, lebih-lebih perkara yang membuatmu nyaman. Saya pikir, mendengarkan lagu sambil berhayal tidak akan memberi kerugian pada orang lain. Lebih mulia kiranya, ketimbang menyebar hoax di media sosial. Kita menyaksikannya sendiri bukan? Betapa riuhnya opera politik, semacam membangkitkan luka lama ada pula rasanya. Mungkin kau setuju, media sosial tidak ramah lagi untuk dijadikan pilihan pelepas penat.


Kalau dibolehkan berpendapat, saya lebih setuju dengan mereka yang mencoba narsis di media sosial. Memamerkan bakat ini dan itu, seperti pandai menari dan menyanyi, atau memperlihatkan jengkol balado yang baru selesai dimasak barangkali. Memajang kalimat harap sebagai ungkapan doa bukanlah perkara buruk, namun tidak mesti dalam bentuk membagikan foto haru lagi mengerikan, yang kemudian memohon diaminkan, semakin banyak amin semakin mahal bandrol akun yang dipatok.


Tapi sungguh pun demikian, sebenarnya saya juga tengah hirau saat ini. Lagu-lagu yang saya sukai tiba-tiba berganti lirik. Saya cemas lirik-liriknya berbunyi penghasutan. Kalaulah itu yang terjadi, mungkin saya akan mengganti kesenangan. Menonton film sambil berhayal, supaya aman dari penghasutan, mungkin film biru menjadi pilihan. Itu semati-mati angin kawan, hendaknya tidak begitu.


Apa kau tahu, lagu apa yang mengiring saya ketika menyelesaikan cerita singkat ini? Tanpa disebut, saya pikir sidang pembaca sekalian telah mencoba menjawabnya. Semua lagu akan terasa benar saat ini. Selamat berhayal sambil mendengarkan lagu kesukaan, jangan lupa bawa serta mereka yang kau sayang dalam lamunan itu.

Senin, 06 Maret 2017

Marantau Bujang Dahulu, di Rumah Baguno Balun

Dua atau tiga hari yang lalu, salah seorang karib datang berkunjung. Seperti biasa, setiap kali berkunjung dia selalu membawa gorengan, cuma pisang goreng tepatnya. Karena sudah lama tidak bertemu, kami jadi bersemangat saling bertukar cerita. Mulai dari cerita kanak-kanak lengkap dengan sindiran anak kampung yang khas -meski itu ke itu saja yang diceritakan kalau bertemu sesekali- bicara politik dan rimba rayanya, rambut perawan yang basah, sampai kepada menyinggung soal nasib.


Cuplikan Film Merantau


Bicara nasib kita bakal bicara hidup-kehidupan-hidup-menghidupi. Bagai orang yang telah fasih soal kehidupan, kami mencoba menelanjangi nasib masing-masing. Tapi kali ini saya lebih senang mendengarkan saja, kawan saya itu yang bercerita banyak tentang nasib. Dia membuka cerita soal rantau dan mengakhiri cerita juga soal rantau.


"Hidup di rantau ternyata tak semudah yang kubayangkan," dia memulai cerita, sementara saya sibuk mengunyah pisang goreng yang mulai mendingin.


"Semua orang sibuk mencari nasib masing-masing," lanjutnya lagi, lalu saya mengiyakan perkataannya itu di dalam hati. Memang benar, rantau seolah tempat nasib berkumpul sembari menanti tuannya datang. Ada yang cepat menjemput nasib, ada juga yang butuh waktu lama namun pasti. Agaknya kami berada pada golongan ketiga, orang yang nasibnya tak menentu, orang yang masih menghitung nasib orang lain. Benar kata Amak, mencari makan di rantau bukanlah perkara mudah. Saya tak menemukan makanan yang gratis. Di kampung saya masih bisa menikmati pisang goreng pemberian seorang karib.


"Semakin ke sini semakin sulit saja kehidupan yang kulakoni. Baru saja berbilang hari keberadaanku di rantau, rasanya telah berbilang tahun. Benar kata ibu, tak mudah hidup jauh dari orang tua," tukasnya lagi.


Perlu kukatakan padamu, saat ini aku telah mendapati pekerjaan. Pekerjaanku terbilang lumayan, sebab soal tempat tinggal tak jadi hirauan. Untuk makan sekali siang tempat kerjaku yang menanggung. Tapi aku selalu dipusingkan perkara nasib. Perkara janjiku merubah nasib. Mana mungkin seorang wartawan di negeri ini boleh bermimpi hidup layak. Kecuali ada yang kau gadaikan. Ini susunan kalimat yang paling kuingat dari keluh kawanku itu. Aku berdoa yang terbaik bagimu.


"Apa salahnya jika kau terima saja amplop-amplop yang disodorkan padamu. Toh itu buah jerihmu," celetuk seorang kawan seprofesi suatu waktu katanya.


"Ai, bukan aku orangnya. Mungkin kebiasaan hidup susah telah mengajariku untuk sombong. Tak pandai aku menjual diri seperti itu. Jika aku mau, sudah dari dulu kuterima tawaran Haji Yakub, dia mau memberikan beberapa bidang sawah miliknya, lengkap dengan kerbau pembajak sawah, juga seekor beruk yang sudah bisa disuruh memetik kelapa, asal aku mau menikahi anaknya sudah dicerai suami," kawanku itu mengakhiri ceritanya soal rantau terakhir, pelukan istri, yang kini sedang kami perjuangkan barangkali.


Kami mengakhiri cerita dengan sebuah kesepakatan; 


Karatau madang di hulu
Babuah, babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di rumah baguno balun


Merantau bukanlah perkara mudah atau tidak pernah akan mudah. Anak laki-laki di kampung kami tidak memiliki hak atas tanah ulayat. Seorang kemanakan dari seorang penghulu besar dengan kekayaan warisan adat yang luas sekalipun tetap tidak memiliki hak atas tanah adat itu. Konon, hak ulayat hanya untuk dan atas perempuan, namun begitu tidak pula untuk diperjualbelikan. Makanya, sakit-payah di rantau bukanlah rintangan yang terlalu besar untuk dilalui bagi kami, sebab bekal yang dibawa dari kampung tidak lebih daripada apa yang bisa diberikan oleh orangtua.